Jumat, 09 Agustus 2019

KITA AKAN JADI YATIM


     Baju pink dan rok hitam lengkap dengan sepatu biru ku kenakan dengan perasaan yang aneh. Aku mengendarai motor beat dan membonceng temanku, Devy. Motor itu sejak pagi telah terparkir dihalaman pondok Al-Fadholi, Merjosari, Lowokwaru, Kota Malang. Motor beat warna merah putih melaju  di siang hari yang lumayan terik, menuju cafe roekloos di jalan sigura-gura 3. Tempat itu sebagai basecamp komunitas Himpunan Amal Pecinta Yatim chapter campus dengan jargon”Berbagi Cinta Berbagi Bahagia”. Siang itu, 5 Agustus 2019 kami bersama ketua komunitas akan pergi ke daerah Krebet, Bululawang, Kabupaten Malang untuk takziah karena ibu adik yatim, Arin dan Arini yang beberapa hari lalu telah meninggal dunia.
Ketua HA, sebutan akrabnya kak Bunbun, nama aslinya belum tahu, dan salah satu anggota lainnya bernama kak Azzam.  Kami ber-empat menuju lokasi takziah, dimana aku dibonceng kak Azzam dan Devy bersama kak Bunbun yang mengendarai motor beatku. Alasan formasi demikian karena lokasi yang akan ditempuh cukup jauh, jadilah kami yang perempuan nebeng.
    Perjalanan siang tak terasa panas tetapi terasa sejuk karena adanya gesekan angin dengan laju motor yang dikendarai.  Sore yang diiringi awan mendung menemani perjalanan takziah kami, ketika sampai dirumah duka adik yatim, kami disambut kerabat dan nenek dari adik yatim tersebut. Perkenalkan mereka, adik Arin yang kini berada dibangku kelas 5 SD dan adiknya bernama Arini yang berada dikelas 2 SD yang telah menjadi yatim piatu.
       Menurut nenek Arin dan Arini, sebelum anaknya meninggal dunia (ibu dari Arin dan Arini) meminta maaf atas segala kesalahan dan mengatakan menitipkan kedua anaknya kepada beliau. Nenek tersebut berurai airmata sembari mengenang sebelum kepergian anaknya, Almh. Ibu Tutik. Almarhumah meninggal ketika menderita penyakit paru-paru.
   Hal lain yang membuat sesak adalah mengetahui bahwa kini kedua putri almarhumah yang masih amat belia harus ditinggalkan sang ibu, setelah 5 tahun sebelumnya juga ditinggalkan sang ayah. Jadilah, mereka menjadi putri yatim piatu dan hanya hidup bersama nenek tercinta. Kesedihan sang nenek tak sampai disitu, 5 hari sebelumnya adik dari Almh.Ibu Tutik atau paman dari Arin dan Arini juga pergi menghadap Allah padahal beliau merupakan tulang punggung keluarga tersebut dan beliau meninggalkan seorang anak. “seminggu iso kelangan loro anakku” ucap beliau dengan suara amat berat. “dadi putuku sing yatim saiki telu” lanjut nenek yang terlihat kenyang dengan pahitnya hidup itu.
Manusia sudah pasti akan menghadapi kematian dan yang ditinggalkan akan mengalami kesedihan. Tapi lebih dari perasaan sedih itu, kita sebagai manusia yang kelak juga akan menjadi mayat dengan berbalut kain kafan dan berbaring dikubur, sendirian.  Hendaknya mengingat kematian, kemudian mempersiapkan bekalnya. Dari kisah kedua adik yatim, Arin dan Arini hati menjadi seolah bergejolak. Akal segera memikirkan sesuatu hal yang niscaya menimpa diri suatu waktu, kehilangan orangtua.
      Diri yang semakin dewasa, menyiratkan bahwa ayah dan ibu semakin menua. Mungkin saja waktu mereka didunia tak lagi banyak untuk menemani kita. Pada akhirnya, kita juga akan menjadi yatim atau yatim piatu kan. Tapi do’a tak akan pernah pupus, melainkan terus harus terus disemai dan tak bosan  meminta pada Sang Maha Pencipta agar orangtuaku, orangtua kita diberi panjang umur.
            Kematian tetangga, orangtua, kakek, nenek, kekasih, suami, atau istri dan bahkan sahabat terdekat hendaknya menjadi pelajaran bagi setiap manusia, menjadikan ia ingat bahwa kelak dia juga akan menghadapi mati. Sesungguhnya kebenaran itu tak dapat disangkal, kematian tidak bisa diundur atau dimajukan barang sedikitpun. Namun sekali lagi, pasti terjadi tanpa kita ketahui kapan waktunya.
   Allah memenuhi janjiNya sesuai yang terdapat dalam kalamullah dalam sebuah surah, yang artinya “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati...” Bagi orang yang yakin dan percaya, maka sungguh Allah tidak mengingkari janjiNya dan selalu bersikap adil.
           Presiden saja mati maka orang biasa juga mati. Orang berduit, orang korupsi, pemerintah yang merampas tanah rakyat juga mati. Seperti kita ketahui, teladan kita, makhluk paling baik akhlaqnya dan kharisma kepemimpinannya yaitu Rasululllah SAW juga wafat. Para wali, ulama’, pembela kemanusiaan juga mati. Tentu saja itulah keadilan Allah. Maka tinggal manusia yang memilih bagaimana menghiasi hidupnya sebelum ditulis tanggal kematiannya diatas batu nisan. Maka menghadapi keniscayaan itu, selama orangtua kita masih berdiri gagah bersama kita, jadilah anak yang berbakti. Jika tidak bisa, maka jangan menyulitkan mereka.
     Bisa jadi nanti atau esok, lusa, minggu depan, bulan depan orangtua kita ternyata akan dipanggil oleh Allah. Seperti adik kita Arin dan Arini yang tak punya kedua orangtua lagi, tapi mungkin bedanya mereka menjadi yatim piatu sebelum orangtuanya menua. Sedangkan kita masih diberi kesempatan menemani hari senja orangtua kita, maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berbakti sebelum hilangnya kesempatan. Tidak ada salahnya cerita ini menjadi pengingat kita bersama. toh sebelumya kita sudah tau, hanya pengingat barangkali terlupa. Jangan bosan mengkritik tulisan ini. Sekian, terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar